Tantangan Hukum Birokrasi Indonesia Menurut Nurmadjito.

 

Mengakhiri tahun 2011, publik Indonesia dikejutkan dengan serentetan peristiwa mengharukan. Antara lain di  Masuji, Bima, Papua, Jambi, Riau. Berbagai manifestasi 'penentangan' ditunjukkan lewat aksi penyerangan terhadap perusahaan yang dianggap telah menduduki tanahnya untuk menuntut  penggantian pembayaran;  pendudukan fasilitas publik dipelabuhan Sape, Bima;  pengrusakan sarana disekitar tambang Freeport;  dan terakhir aksi jahit mulut dan pendirian kemah digerbang  kompleks DPR jalan Gatot Subrorto, Jakarta.

Contoh aksi masa itu menunjukkan adanya suatu gejala  penentang eksistensi hukum formal yang berlaku. Hal itu bisa  terjadi karena salah satu elemen hukum yang seharusnya bekerja sebagai penyeimbang ternyata tidak berfungsi. Masalah pertambangan adalah salah satu kasus yang seringkali muncul dikarenakan UU No 4/2008 tentang Minerba yang seharusnya didampingi dengan  UU lain sebagai penyeimbang seperti UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, UU Sumber Daya Air dan sebagainya tidak (berfungsi). Akibatnya rakyat yang tidak puas dengan keputusan kepala daerah menunjukkan eksistensinya melalui upaya pembangkangan.

Kasus tanah perkebunan di Mesuji juga ditandai hal yang sama, karena UU yang menjadi landasan hukum pemberian izin perkebunan ternyata tidak sinkron dengan UU Agraria (UUPA).

Ketidakcermatan  birokrasi dalam  pengambilan kebijakan pemberian izin usaha tersebut selanjutnya akan menjadi masalah hukum di tahun mendatang. Apalagi kesadaran masyarakat  akan hak-haknya semakin meningkat.

Hak masyarakat adat akan tanah ulayat yang diamanatkan dalam UUPA tahun 1960, seharusnya sudah terbit  untuk memberikan dasar kepemilikan tanah  masyarakat adat, ternyata belum terealisasikan dalam bentuk UU. Tampaknya pemerintah belum melihat kasus ini menjadi prioritas, dan justru yang menjadi perhatian dan kebutuhan mendesak adalah diperlukan UU tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan umum.

UU yang terakhir disetujui DPR tahun 2011 itu, tampaknya juga berpotensi menimbulkan masalah hukum saat di implementasikan,  apabila tidak dibarengi dengan UU yang mengatur hak ulayat. Perilaku pemerintah dengan menggunakan cara-cara yang kurang akomodatif  akan memperoleh penentangan dari masyarakat  sepanjang  hak-hak nya tergerus oleh kepentingan itu. Apalagi suasana ketidakpercayaan publik terhadap dalih kepentingan umum namun senyatanya ada kepentingan bisnis di baliknya, masih menyelemuti benak masyarakat  dari berbagai kebijakan pemerintah yang diambil selama ini.  

Tindakan pemerintah untuk melakukan moratorium di bidang pertambangan batubara, sebagai misal,  adalah kebijakan publik yang sangat rentan disalahgunakan.  Terjadi benturan kepentingan, pemilik modal berharap  penyaluran batubara tidak terhenti dan berhadapan dengan kehendak pemerintah melalui  moratorium.

Moratorium adalah kebijakan publik yang tidak memiliki nilai sama sekali dalam bidang hukum dan akan sangat mudah dilanggar. Praktek semacam ini sangat jelas dapat dilihat masyarakat, yang hanya bertindak sebagai penonton menyaksikan lalulalang penyaluran batubara tanpa ada tindakan apapun dari pemerintah, padahal masyarakat mengetahui bahwa hal ini masih dalam masa tenggang moratorium.

Undang-Undang Sektor

Sudah dari sejak lama, arsitektur hukum di bidang pemerintahan tidak memiliki pola yang jelas dan satu sama lain tidak tercapai kolaborasi yang baik. Instansi pemerintah berlomba-lomba mengusulkan program legislasi untuk memperjuangkan perlunya landasan undang-undang yang memberi kewenangan instansinya dalam menjalankan tugas dan perannya. Karena dibangun dalam perspektif sektor maka hasilnya adalah undang-undang yang  berdiri sendiri dan diwujudkan untuk dilaksanakan sendiri oleh instansi tersebut tanpa perlu melakukan koordinasi dengan instansi lain. Undang-undang Pabean, sebagai misal, mengatur secara mandiri tugas dan wewenang dan sekaligus pelaksana dari ketentuan tersebut.  Sekaligus untuk penegakan hukumnya, perlu membentuk penyidik sendiri yang disebut dengan penyidik pegawai negeri sipil.
Demonstrasi Papua
Demonstrasi Papua (foto: Antaranews)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Instansi tersebut merasa tidak perlu lagi koordinasi dengan instansi lain dalam melaksanakan tugas  di bidang kepabeanan. Contoh ini adalah satu dari sekian banyak undang-undang sektor yang sampai saat ini mencapai ratusan undang-undang. contoh lain, UU Pemerintahan Daerah, yang mengatur peran otonomi dari seluruh pemerintah daerah dan untuk menegakan ketentuan tersebut. Undang-undang ini tidak merasa perlu bekerjasama dengan penegak hukum, seperti misalnya kepolisian, karena undang-undang ini telah menciptakan penegak hukum sendiri yang disebut dengan Satuan Polisi Pamong Praja (SatPolPP). 

Beberapa waktu yang lalu, Bank Indonesia merasa perlu menegakan ketentuan UU perbankan, sehingga mengusulkan perlunya  penyidik pegawai negeri sipil yang berasal dari pegawai Bank Indonesia, namun tidak terwujud.

Konfigurasi perundang-undang tersebut diatas, adalah akar akan timbulnya masalah dikemudian hari, apabila tidak ada tindak koreksi secara komprehensif. Kabinet  Presiden yang dipimpin oleh Presiden tidak akan berjalan dalam koridor kesatuan karena saat berada dalam implementasi, masing-masing berada dalam lingkup masing-masing UU nya.

Profil dari undang-undang sektor tersebut menunjukkan gejala egosektor, sehingga kasus yang terjadi di Mesuji dan lain tempat adalah keniscayaan. Karena aparat birokrasi dilapangan hanya akan tunduk kepada  UU  dari instansinya. Kenyataan ini menjadikan kesulitan bagi pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan perizinan kepada masyarakat. Perizinan pertambangan  yang berada di kawasan hutan masih memerlukan izin dari dua instansi, dan pihak pemerintah daerah yang berhadapan langsung  dengan investor, hanya memiliki dua pilihan, pertama, menunggu hasil koordinasi dari dua instansi  dari dua kementerian;  atau kedua, langsung memberikan perizinan, dan diharapkan dikemudian hari tidak jadi permasalahan.

Persoalan akan menjadi lebih rumit lagi, ketika perusahaan tambang tersebut berada dalam jalur minyak dan gas bumi. Sebagai perusahaan yang ditugaskan untuk melakukan eksploitasi dan atas kegiatan itu diberikan ekspenditur dari APBN akan menghadapi kesulitan apabila masalah tanah yang akan dieksploitasi  masih menghadapi masalah. Padahal setiap kegiataan dari kontraktor minyak tersebut menggunakan dana yang berasal dari APBN. Kegagalan untuk melaksanakan eksploitasi tersebut  selanjutnya  akan menjadi beban masyarakat.   Tahun 2011, BP Migas,  tidak melaporkan capaian dari kegiatan kontraktor migas dan yang diumumkan hanyalah penyerapan anggaran yang  hanya mencapai 67 %.

Paradoksial

Pengungkapan kasus Masuji dalam forum publik nasional , ternyata telah dianggap oleh  pemerintah daerah mengganggu dan menyurutkan  minat investor.   Pengungkapan kasus tersebut menyebakan potensi penerimaan daerah akan berkurang  dan dalam kelanjutannya menimbulkan citra yang kurang baik bahkan akan menghadapi kesulitan memberikan pelayanan kepada masyarakat.

UU penanaman modal yang terbit sejak tahun 1967 dan diperbaharui tahun 2009, ditujukan untuk memberi  rangsangan kepada investor untuk melakukan usaha di Indonesia dan dari tumbuhnya investasi tersebut diharapkan mampu menyerap tenaga kerja yang setiap tahun tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.  Namun keberhasilan investasi tersebut ternyata tidak memberikan kesejahteraan bagi rakyat sekitar.

Penerimaan negara dari investasi tidak mempunyai efek langsung bagi kesejahteraan sekitar. Justru mereka terusir dari lingkungannya karena tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan yang melakukan usahanya di wilayah tersebut. Penduduk yang tersisih tersebut akhirnya mencari jalan lain dengan mengadu nasib ke kota sebagai buruh tidak terdidik dan menambah jumlah kemiskinan.

Mundurnya Wakil Gubernur DKI di akhir tahun 2011, menunjukkan bahwa konstruksi hukum yang dibangun dalam UU pemerintahan daerah tahun 2002 tidak mampu mengakomodasikan persoalan tersebut. Sistem yang dibangun untuk mewadahi pemilihan kepala daerah masih belum dapat dipahami oleh masyarakat maupun pejabat terpilih tersebut. Angka 97 % yang dirilis untuk menunjukkan kegagalan pasangan kepala daerah dalam masa tugasnya, membuktikan bahwa masih terdapat  celah yang kurang tepat dalam UU pemerintahan daerah. Menteri Dalam Negeri mengusulkan berbagai solusi seperti menghapuskan pemilihan secara pasangan seorang wakil kepala daerah dengan menggantikan dengan pejabat karier yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil.

Namun solusi yang diajukan masih perlu diperdebatkan, karena belum diuji dalam pelaksanaannya. Jika usulan itu diterima  berpotensi membawa konsekwensi terhadap UU tentang Pemerintahan DKI Jakarta, yang mengatur kedudukan 4 (empat) deputi gubenur yang berasal dari PNS karier dan juga memiliki seorang wakil gubernur yang terpilih melalui pemilukada.Iklim kondusif birokrasi

Ke depan masalah yang melingkupi birokrasi pemerintahan masih dihadapkan adanya problematik sistem yang diwadahi dalam undang-undang. keinginan memperbaiki birokrasi pemerintahan telah dicanangkan melalui reformasi birokrasi. Pertama,Masing-masing instansi pemerintah diwajibkan memperbaiki sistem kelembagaan, ketatalaksanaan dan pengelolaan sumber daya manusia, keberhasilan perbaikan itu akan diberikan tambahan penghasilan atau disebut renumerasi.

Namun, perbaikan yang awalnya dimulai dari Kementerian Keuangan ternyata dihanguskan dengan terungkapnya kasus pegawai Ditjen Pajak yang mampu mengelabui ketentuan UU perpajakan untuk melayani pengusaha yang ingin diringankan kewajiban pembayaran pajaknya.

Kedua, Berbagai langkah yang dilakukan setiap pemerintah  daerah maupun pusat, tertuju kepada ikon perbaikan pelayanan perizinan. Sistem pelayanan yang dipadukan dalam satu kesatuan  pelayanan diintroduksikan untuk menghapus pelayanan birokrasi yang dianggap menghambat. Namun, sayangnya sistem pelayanan yang dibangun melalui UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang sudah dua tahun diundangkan tidak terdengar tekah terbitnya peraturan pelaksanaan.

Birokrasi pemerintah, setidaknya masih dihadapkan dengan problematik hukum yang apabila tidak terselesaikan dan pemerintah tidak memiliki peta jalan untuk perbaikannya, masalah-masalah hukum seperti tersebut diatas akan tetap menjadi penyakit yang sulit dihindari.

Penulis: Nurmadjito
Mantan Staf Ahli Hukum Menteri PAN dan RB, anggota Forum Kebijakan Public

Sumber: http://www.gatra.com/home/kolom/7013-nurmadjito-tantangan-hukum-birokrasi-indonesia-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian dan Perbedaan Kekuasaan dan Kewenangan

8 UNSUR ADMINISTRASI NEGARA

CBN Internet (Palembang)