Perbedaan Raja dan Presiden

         Anda tau apa yang membedakan raja dan presiden, satu hal yang mungkin orang-orang yang tidak hidup di bawah raja, yaitu sebuah ikatan emosional antara pemimpin dan yang dipimpin, ikatan ini akan terbentuk dan berujung pada dua hal rasa cinta dan rasa benci, saling memiliki atau saling mengingkari, dan presiden yang mencoba menjadi raja selalu menemui kegagalan. indonesia menghadirkan wajah itu pada kita, soekarno sang proklamator dan soeharto sang bapak pembangunan tidak kuasa bertahan di puncak kekuasaan walau menyatakan sebagai presiden seumur hidup dan mencoba menjadi penguasa terlama. karena raja di bentuk dari rakyat, raja memang tidak dipulih rakyat tapi rakyat memiliki raja sebagai pengayom, pelindung, bukan orang yang minta dipilih, disinilah wajah raja itu hadir.

         Lihat di jogja saat sri sultan 9 meninggal, tangis membajir dan awan duka menyelimuti jagat jogja, orang-orang berbaris melepas kepergian sang raja dari kraton hingga makam para raja di imogiri, saat meninggalnya sultan 9 dapat melihat bagaimana rakyat merasa begitu kehilangan, rakyat berderet tanpa putus dalam jarak puluhan kilometer, dalam suasana duka yang mistis. begitu juga saat perayaan yang penuh bahagia seperti pernikahan putri sultan, iring-iringan pengantin yang berjalan dipenuhi ribuan rakyat yang tumpah ruah untuk menyambut, memberi salam, bahkan doa. wajah ikatan rakyat dengan raja sebenarnya tidak hanya di jogja, bahkan salah satu kerajaan tertua seprti Inggris misalnya seperti itu juga, begitu juga dengan kerajaan termuda di Bhutan, hal sama terjadi.

         Hal seperti itu tidak akan dan mungkin tidak pernah terjadi pada keluarga presiden misalnya, raja memiliki satu nilai yang hanya dimengerti oleh raja dan rakyatnya, itu bisa dilihat di thailand dimana se chaos apapun kondisi negara saat raja turun dan berittah semua reda. di jogja juga pernah terjadi demikian, saat terjadi kerusuhan 97/98 dimana penjarahan marak di indonesia, bahkan solo juga membara, di jogja lain cerita, walau kerusuhan terjadi namun hampir tidak ada penjarahan bersekala besar, bahkan saat masa sudah pada titik nadir, sultan turun kejalan, berbicara di panggung kecil di jalan-jalan utama jogja untuk meredam emosi masa, berbicara dan merangkul individu-individu di jalanan, saat itupulalah pasiwonan agung diadakan sebagai konsespi politik melihat wajah carut marut negeri sekaligus meredakan emosi masa.

           Mungkin konsep raja adalah perwakilan Tuhan di bumi sudah tidak uptudate lagi di masa sekarang, dan memang jogja tidak pernah memakai konsep itu. karena sultan memiliki dua tugas penting baik dalam tataran agama, tradisi dan kekuasaan, dalam gelar sultan ada dua yang ditekankan pertama “kalifatullah ing tanah jawi” dan kedua “panotogomo” sebagai khalifah, sebagai pemimpjn dan sebagai penata agama atau pengayom itulah mengapa sultan mendapat tempat untuk mengimami sholat jumat misalnya di masjid agung.

            Konsep ikatan raja dengan rakyat beda dengan konsep ikatan raja dengan presiden, termasuk dalam konteks I Wayan minta dan presiden di bali, ketatnya pengamanan dan penjagaan presiden yang selalu was-was itu menunjukan presiden tidak percaya pada rakyatnya sendiri, presiden memiliki ketakutan berlebih untuk selalu dilindungi dari gangguan rakyat yang meribetkan, presiden berada dalam konteks kekuasaan, hingga selalu curiga pada rakyat, kecurigaan berlebih ini akan ditunjukan dengan ketatnya keamanan yang melindunginya, hingga ada jurang pemisah yang sangat dalam dan jauh antara rakyat dan presiden.

          Hal itu tidak berlaku dalam konteks raja, memang raja dalam hal ini tetap berada pada lingkungan tersendiri, tapi tetap berada dalam ruang yang tidak terlalu jauh, tidak ada batasan raja-rakyat di ruang umum bahkan di ruang pribadi. coba lihat istana ayotaya di thailan yang sebagian besar boleh di kunjungi, begitu juga dengan kraton jogja dimana sultan dan keluarga hanya menggunakan sebagian saja untuk tempat tinggal sedangkan wilayah kraton lain bebas di nikmati rakyat. mari kita bandingkan dengan istana bogor atau gedung agung jogja, walaupun tidak di pakai sebagai kediaman maupun kantor, istana-istana tersebut harus bebas bersih dari rakyat.

           Benar bahwa konteks kerajaan sekarang sudah tidak relevan, namun di masa sekarang justru sistem kerajaan adalah pemersatu dan simbol yang tinggi. demokrasi yang melahirkan perpecahan, permusuhan dan kebencian berkepanjangan tidak lagi dilirik di jogja, biaya politik besar, jika konteks demokrasi adalah persamaan hak dalam beruara dan berpendapat, maka jogja adalah contoh terbaik untuk indonesia, jogja mungkin adalah lingkungan paling homogen di indonesia setelah jakarta, bedanya kearifan lokal masih terus terjaga, dan raja berada pada tataran itu. jogaja punya dunia sendiri dengan sultan sebagai pemimpinnya, inilah demokrasi ala jogja, dan jogja menikmati itu, disni anda bisa tanya pada tukang parkir petuah siapa yang akan pertama di patuhi, sultan atau presiden.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian dan Perbedaan Kekuasaan dan Kewenangan

CBN Internet (Palembang)

8 UNSUR ADMINISTRASI NEGARA